Sabtu, 06 Agustus 2011

Kisah 2 Kakek Pembuat Bubur India untuk Berbuka


SETIAP Ramadan, Masjid Pekojan menyediakan makanan berbuka berupa bubur India. Adalah dua penjaga masjid berusia lanjut yang mempersiapkan menu ini setiap tahunnya.

Abdul Muin, kakek berusia 72 tahun yang bekerja sebagai penjaga Masjid Jami Pekojan di Jalan Petolongan nomor 1 itu, tertatih membawa sejumlah kayu bakar dari tumpukannya. Dia setiap bulan puasa memang mendapat tugas untuk menyiapkan api tungku, guna memasak makanan khas masjid berusia sekitar 150 tahun ini.

Selain Muin, Mbah Ngatiman (70) juga bersiap dengan berbagai peralatan membuat bubur, seperti pengaduk kayu besar, panci tanah liat berukuran besar, dan penutup panci. Menururt Mbah Ngatiman, bubur India mempunyai makna kesabaran, dilihat dari cara memasaknya.

"Memasak bubur yang resepnya dibawa oleh seorang saudagar asal Palestina ratusan tahun lalu ini memang butuh kesabaran. Dulu, hanya untuk mencari 10 buah kelapa yang akan dijadikan santan, sangatlah susah. Kalau sekarang malah sudah tinggal memerasnya," cerita Ngatiman yang juga bertugas sebagai penjaga masjid.

Walau saat ini sudah mudah mencari bahan bakar, proses pembuatannya masih juga membutuhkan kesabaran. "Membuat atau memasak bubur ini, dimulai dari jam 8 pagi, dengan menyiapkan sayur mayur lalu memotongnya. Selain sayur, jahe, serai, pandanwangi, kayu manis, bawang merah, dan bawang putih juga disiapkan. Kemudian, kita akan memeras santan yang harus disimpan dulu paling tidak 2 jam. Setelah itu, sekitar jam 12 siang, kita baru memasak air dan mencuci beras," tutur kakek dengan gelar Haji ini.

Satu jam menyiapkan air barulah beras dituang ke dalam panci. Di sinilah cobaan kesabaran kedua dijalani. Bubur harus tetap diaduk dengan sendok kayu besar sampai mengental. Prosesnya memerlukan waktu sekira 2 jam.

"Pegal justru yang mengganggu saya, kalau haus dan lapar karena puasa saya malah gak ngrasakno (tidak terasa-red)," ujar Mbah Ngatiman sambil mengaduk aduk isi panci.

Setelah siap, bubur kemudian ditempatkan di mangkok plastik untuk kemudian disusun berjajar di salah satu sudut masjid bersama segelas susu coklat hangat dan beberapa biji korma. Beberapa menit sebelum bedug Maghrib ditabuh, sekira 200 jamaah dan warga sudah duduk di depan santapan yang dipersiapkan sejak pagi itu.

Kenikmatan berbuka bersama sangat dirasakan oleh jamaah yang berbuka di masjid. Seperti dikatakan Slamet (35) warga Krapyak, yang sengaja menempuh jarak cukup jauh setiap hari hanya untuk berbuka di Petolongan itu seraya menikmati bubur khas Masjid Jami Pekojan.

"Kalau buburnya memang tiap tahun selalu saya nantikan, gurih kuah gulai atau sayur lodeh khas bubur India ngangeni (bikin kangen-red). Usai berbuka bersama, lalu shalat berjamaah dan lanjut taraweh, ini benar benar saya nikmati," kata Slamet.

Selain jamaah masjid, puluhan anak-anak yang tinggal di sekitar masjid juga tak mau ketinggalan untuk antre mendapatkan bubur. Dengan membawa mangkok atau rantang dari rumah, mereka dengan sabar menanti giliran mendapatkan bubur dari Mbah Ngatiman.

Suasana inilah yang setiap harinya selalu mewarnai Masjid Jami Pekojan ini. Tak usah mewah karena dengan kesederhanaan, berbuka puasa ternyata juga dipenuhi dengan kenikmataan tersendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More